Oleh : Immi. Cecilia Tsania Fanani
![]() |
| credit image: sehatq.com |
Akhir-akhir ini
dunia sedang dilanda oleh penyakit baru yaitu COVID-19. WHO sudah menetapkannya sebagai pandemi global
karena penyebaran virus yang begitu cepat melalui udara atau droplet penderita
sehingga saat ini belum ada terapi yang direkomendasikan dan pasti untuk
COVID-19. COVID-19 ini disebabkan oleh virus severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
dan merupakan virus jenis baru dari keluarga coronavirus yang memberikan
berbagai penyakit pada sistem pernapasan mulai dari gejala ringan sampai berat,
gejala klinis dari penyakit COVID-19 ini yaitu letih, lesu, pilek, batuk
berdahak, demam, sakit tenggorokan, dan memiliki gangguan pernapasan. Maka kita
semua pasti menginginkan penemuan obat atau vaksin yang benar-benar bisa
mengatasi virus ini dan juga aman untuk digunakan tubuh.
Karena COVID-19 disebabkan oleh infeksi
virus, maka terapi yang bisa digunakan untuk mengatasi atau mengurangi
penyebaran COVID-19 ini yaitu dengan menggunakan antivirus. Meskipun
obat-obatan yang masih digunakan hampir semua negara yaitu berupa obat dengan uji trial
and error. Obat-obatan seperti obat off-label
menjadi jurus yang digunakan oleh banyak tenaga
kesehatan di berbagai negara yang terdampak dan
juga masih dalam pengembangan dan pengujian untuk mengurangi putusnya rantai penyebaran COVID-19 ini.
Obat off-label
atau drug repurposing merupakan obat yang diresepkan tetapi tidak sesuai
dengan informasi resmi obat. Indikasi,
dosis, umur pasien, dan rute pemberian yang digunakan
untuk obat off-label tidak sesuai
dengan yang dinyatakan oleh izin edar. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia memutuskan obat off label seperti favipiravir
(avigan), lopinavir + ritonavir, remdesivir, oselatmivir, klorokuin fosfat dan
hidroksiklorokuin sulfat sebagai obat antivirus pada penggunaan emergensi. Dan
obat-obat ini mengacu pada hasil yang telah digunakan oleh beberapa negara
terdampak COVID-19.
Presiden Jokowi
mengumumkan bahwa pemerintah telah memesan sejumlah obat yaitu avigan dan
klorokuin untuk mengatasi COVID-19 yang
menular dengan cepat ini. Akan tetapi, masyarakat juga harus
mengetahui dosis penggunaan, efek samping, dan khasiat juga mekanisme kerja
untuk penggunaan obat off-label yang sudah diputuskan oleh BPOM Republik
Indonesia. Meskipun begitu, diharapkan juga kepada masyarakat untuk tidak
membeli obat-obat tersebut secara sembarangan
karena obat tersebut termasuk ke dalam golongan obat keras yang harus dibeli
dengan resep dokter.
FAVIPIRAVIR
Mekanisme
kerja favipiravir (Furuta, Y., et al., 2009)
Favipiravir
menghambat secara selektif RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) dari virus
influenza. Favipiravir merupakan prodrug yang mengalami ribosilasi dan
fosforilasi intraseluler serta dikonversi menjadi bentuk ribofuranosil fosfat
(favipiravir-RTP) dalam sel dan dikenal juga sebagai substrat oleh RNA
polimerase virus sehingga menghambat aktivitas RNA polimerase dan menghambat
proses replikasi virus (Furuta, Y., et al, 2009).
Dosis yang
digunakan menurut WHO yaitu Dosis 1600 mg pada hari ke-1 sebagai dosis muatan
(loading dose) diikuti dengan 600 mg, 2 x sehari mulai hari ke-2 sampai tidak
lebih dari 14 hari. Di Indonesia, sesuai Tata Laksana Pasien COVID-19 PDPI 40:
Gejala ringan: bila perlu, favipiravir 600 mg 2 x sehari selama 5 hari. Gejala
sedang dan berat: favipiravir loading dose 1600 mg 2 x sehari hari ke-1 dan
selanjutnya 600 mg 2 x sehari (hari ke 2-5). (Keputusan BPOM, 2020)
Menurut
keputusan BPOM efek samping penggunaan ini
pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang tertulis dalam posologi,
dilaporkan efek yang tidak diinginkan sebagaimana tercantum dalam tabel
berikut:
≥ 1%
|
0.5 - < 1%
|
< 0.5%
|
|
Hipersensitivitas
|
Ruam
|
Eksem, pruritus
|
|
Hepatik
|
Peningkatan AST (GOT), p eningkatan ALT (GPT), p
eningkatan γ-GT
|
P eningkatan ALP darah, P eningkatan bilirubin
darah
|
|
Saluran cerna
|
Diare (4.79%)
|
Mual, muntah, sakit perut
|
Perut tidak nyaman, ulkus duodenum, hematokezia,
radang perut
|
Hematologi
|
Penurunan jumlah neutrofil, p enurunan jumlah
leukosit
|
Peningkatan jumlah sel darah putih, penurunan
jumlah retikulosit, Peningkatan jumlah monosit
|
|
Gangguan Metabolisme
|
Peningkatan asam urat dalam darah (4.79%),
peningkatan trigliserida
|
Adanya glukosa dalam urin
|
Penurunan kadar kalium dalam darah
|
Saluran Napas
|
Asma, oropharyngal pain, rhinitis,
Naso-pharyngitis
|
Menurut pejabat Tiongkok,
dilaporkan bahwa pasien yang mengonsumsi obat favipiravir di Shenzen menjadi
negatif setelah 4 hari sedangkan pasien yang tidak mengonsumsi obat tersebut
baru negatif setalah 11 hari. Pada
penanganan pasien COVID-19 di Jepang, melalui pemeriksaan
menggunakan X-Ray, pasien menunjukkan perbaikan paru sebesar 91% setelah mengonsumsi favipiravir
dan pasien yang tidak menggunakan obat tersebut menunjukkan perbaikan paru sebesar 62%.
Akan tetapi pihak kementerian
Jepang meyatakan bahwa obat ini kurang efektif bagi pasien yang memiliki gejala
berat.
KLOROKUIN
FOSFAT
Vincent, dkk (2005) melaporkan bahwa klorokuin memiliki efek
antiviral yang kuat terhadap virus SARS-CoV pada sel primata. Efek penghambatan
ini teramati ketika sel diperlakukan dengan klorokuin baik sebelum maupun sesudah
paparan virus, yang menunjukkan bahwa klorokuin memiliki efek pencegahan maupun
efek terapi. Selain yang sudah diketahui bahwa klorokuin meningkatkan pH
endosomal yang menghambat replikasi virus (Al Bari, 2017), obat ini nampaknya
berinteraksi dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2
(ACE2) selular.
Hal ini menyebabkan penghambatan terhadap ikatan virus dengan reseptor,
sehingga dapat mencegah infeksi maupun penyebaran virus SARS-CoV pada
konsentrasi yang dapat menyebabkan gejala klinis.
https://www.steemleo.com/@indextrader24/erhoehen-ace-hemmer-die-sterblichkeit-bei-ards-im-rahmen-einer-ncov-infektion
Akhir-akhir ini,
hydroxychloroquine (HCQ) atau chloroquine yang selama ini digunakan untuk perawatan
pasien COVID-19 diberitakan mengalami masalah. Studi baru-baru ini mengungkap
pasien COVID-19 yang diberi obat malaria ini berisiko mengalami aritmia atau
ritme jantung tidak beraturan bahkan meninggal. Bahkan David Boulware,
ahli penyakit infeksi telah mempelajari hydroxychloroquine sebagai pengobatan COVID-19 bersama University of Minnesota. Dia menegaskan
bahwa obat ini mungkin tidak memiliki manfaat dan kemungkinan meningkatkan
risiko kematian pada pasien corona.
Dalam
pemberitaan CNN Indonesia pada hari Senin, 25 Februari 2020 menyebutkan studi
yang terbit di jurnal The Lancet ini menganalisis lebih dari 96 ribu pasien COVID-19 di 671 rumah sakit di enam benua. Pasien dirawat mulai akhir
Desember 2019 hingga pertengahan April 2020, pasien yang meninggal juga pasien
yang dipulangkan pada 21 April 2020. Dari sekian banyak pasien, mereka yang
diterapi dengan hydroxychloroquine atau chloroquine tidak sampai 15 ribu
pasien. Peneliti menemukan sekitar satu dari 11 pasien dalam kelompok kontrol
(tidak mendapatkan obat-obatan) meninggal di rumah sakit. Kemudian sekitar satu
dari enam pasien yang diobati dengan hydroxychloroquine atau chloroquine saja
meninggal. Sekitar satu dari lima yang dirawat dengan chloroquine dan
antibiotik meninggal serta hampir satu dari empat yang diobati dengan hydroxychloroquine
dan antibiotik meninggal. Tidak hanya kasus meninggal,
peneliti juga menemukan pasien mengalami gangguan aritmia. Dari empat jenis
skema terapi, masalah aritmia paling banyak timbul pada pasien yang diberi
hydroxychloroquine dan antibiotik yakni sebanyak 8 persen.
Di Indonesia,
pihak Puslitbang telah memutuskan untuk mengehentikan pemberian klorokuin kepada
pasien karena tidak aman dan pasien yang masih dalam pengonsumsian klorokuin harus diawasi dengan
memperhatikan kemungkinan efek samping yang terjadi. Obat dan vaksin
yang benar-benar bisa digunakan dalam pencegahan dan penyembuhan COVID-19 ini
masih belum ditemukan dan masih dalam perkembangan. Selain itu waktu
pengujian yang lama juga memperlambat penemuan obat ini.
Virus ini merupakan virus baru dengan penyebaran yang begitu cepat sehingga
kesehatan diri masing-masing sebaiknya kita
jaga dengan melakukan antisipasi penularan dan pemutusan
rantai virus COVID-19. Beberapa hal yang dapat menghambat laju penularan
COVID-19 yaitu :
- Rajin mencuci tangan menggunakan sabun dengan baik dan benar
- Menjaga jarak dengan orang sekitar dengan jarak 1 meter
- Tidak mendatangi tempat yang ramai orang
- Menggunakan masker dengan baik dan benar ketika berada diluar rumah, apalagi bagi penderita batuk dan pilek
- Mengkonsumsi gizi seperti memperbanyak makan sayur dan buah
- Rajin berolahraga dan istirhat yang cukup
- Tidak panik namun tetap waspada
- Selalu berpikir positif agar imunitas tubuh terjaga
- Menggunakan hand sanitizer ketika bepergian dan juga setelah keluar dari rumah
- Tidak membeli obat-obatan secara mmebabi buta
- Melakukan social distancing dan physical distancing
- Melekukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Sumber Referensi :
- Al-Bari M, 2017, Targeting endosomal acidification by chloroquine analogs as a promising strategy for the treatment of emerging viral diseases, Pharma Res Per, 5(1), 2017, e00293, doi:10.1002/prp2.293
- Furuta, Y., et al. 2009. T-705 (favipiravir) and related compounds: Novel broad-spectrum inhibitors of RNA viral infections. J. of Antiviral Rsch., 82(3):95-102.
- Furuta, Y., et al. 2009. T-705 (favipiravir) and related compounds: Novel broad-spectrum inhibitors of RNA viral infections. J. of Antiviral Rsch., 82(3):95-102.
- https://covid19.hukumonline.com/wp-content/uploads/2020/04/keputusan_kepala_badan_pengawas_obat_dan_makanan_nomor_hk_02_02_1_2_03_20_134_tahun_2020.pdf
- https://farmasetika.com/2020/03/23/apoteker-harus-tahu-mekanisme-kerja-obat-avigan-dan-klorokuin-untuk-covid-19/
- https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200524205315-255-506547/studi-ungkap-obat-malaria-untuk-corona-picu-masalah-jantung
- Vincent MJ, Bergeron E, Benjannet S, Erickson BR, Rollin PE, Ksiazek TG, Seidah NG, Nichol ST. , 2006, Virol J. 2005 Aug 22;2:69.
- World Health Organization (WHO). 2020. Table of therapeutics in WHO A coordinated Global Research Roadmap. https://www.who.int/blueprint/prioritydiseases/keyaction/Table_of_therapeutics_Appendix_17022020.pdf?ua=
- https://www.sehatq.com/artikel/benarkah-klorokuin-dan-pil-kina-berpotensi-atasi-corona



Tidak ada komentar:
Posting Komentar