Kamis, 04 Juni 2020

Mengenal Obat Off-Label : Obat untuk Terapi COVID-19

Oleh : Immi. Cecilia Tsania Fanani

credit image: sehatq.com



Akhir-akhir ini dunia sedang dilanda oleh penyakit baru yaitu COVID-19. WHO sudah menetapkannya sebagai pandemi global karena penyebaran virus yang begitu cepat melalui udara atau droplet penderita sehingga saat ini belum ada terapi yang direkomendasikan dan pasti untuk COVID-19. COVID-19 ini disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan merupakan virus jenis baru dari keluarga coronavirus yang memberikan berbagai penyakit pada sistem pernapasan mulai dari gejala ringan sampai berat, gejala klinis dari penyakit COVID-19 ini yaitu letih, lesu, pilek, batuk berdahak, demam, sakit tenggorokan, dan memiliki gangguan pernapasan. Maka kita semua pasti menginginkan penemuan obat atau vaksin yang benar-benar bisa mengatasi virus ini dan juga aman untuk digunakan tubuh.

Karena COVID-19 disebabkan oleh infeksi virus, maka terapi yang bisa digunakan untuk mengatasi atau mengurangi penyebaran COVID-19 ini yaitu dengan menggunakan antivirus. Meskipun obat-obatan yang masih digunakan hampir semua negara yaitu berupa obat dengan uji trial and error. Obat-obatan seperti obat off-label menjadi jurus yang digunakan oleh banyak tenaga kesehatan di berbagai negara yang terdampak dan juga masih dalam pengembangan dan pengujian untuk mengurangi putusnya rantai penyebaran COVID-19 ini.

Obat off-label atau drug repurposing merupakan obat yang diresepkan tetapi tidak sesuai dengan informasi resmi obat. Indikasi, dosis, umur pasien, dan rute pemberian yang digunakan untuk obat off-label tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh izin edar. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia memutuskan obat off label seperti favipiravir (avigan), lopinavir + ritonavir, remdesivir, oselatmivir, klorokuin fosfat dan hidroksiklorokuin sulfat sebagai obat antivirus pada penggunaan emergensi. Dan obat-obat ini mengacu pada hasil yang telah digunakan oleh beberapa negara terdampak COVID-19.

Presiden Jokowi mengumumkan bahwa pemerintah telah memesan sejumlah obat yaitu avigan dan klorokuin untuk mengatasi COVID-19 yang menular dengan cepat ini. Akan tetapi, masyarakat juga harus mengetahui dosis penggunaan, efek samping, dan khasiat juga mekanisme kerja untuk penggunaan obat off-label yang sudah diputuskan oleh BPOM Republik Indonesia. Meskipun begitu, diharapkan juga kepada masyarakat untuk tidak membeli obat-obat tersebut secara sembarangan karena obat tersebut termasuk ke dalam golongan obat keras yang harus dibeli dengan resep dokter.


FAVIPIRAVIR
Mekanisme kerja favipiravir (Furuta, Y., et al., 2009)

Favipiravir menghambat secara selektif RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) dari virus influenza. Favipiravir merupakan prodrug yang mengalami ribosilasi dan fosforilasi intraseluler serta dikonversi menjadi bentuk ribofuranosil fosfat (favipiravir-RTP) dalam sel dan dikenal juga sebagai substrat oleh RNA polimerase virus sehingga menghambat aktivitas RNA polimerase dan menghambat proses replikasi virus (Furuta, Y., et al, 2009).

Dosis yang digunakan menurut WHO yaitu Dosis 1600 mg pada hari ke-1 sebagai dosis muatan (loading dose) diikuti dengan 600 mg, 2 x sehari mulai hari ke-2 sampai tidak lebih dari 14 hari. Di Indonesia, sesuai Tata Laksana Pasien COVID-19 PDPI 40: Gejala ringan: bila perlu, favipiravir 600 mg 2 x sehari selama 5 hari. Gejala sedang dan berat: favipiravir loading dose 1600 mg 2 x sehari hari ke-1 dan selanjutnya 600 mg 2 x sehari (hari ke 2-5). (Keputusan BPOM, 2020)

Menurut keputusan BPOM efek samping penggunaan ini  pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang tertulis dalam posologi, dilaporkan efek yang tidak diinginkan sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

≥ 1%
0.5 - < 1%
< 0.5%
Hipersensitivitas

Ruam
Eksem, pruritus
Hepatik
Peningkatan AST (GOT), p eningkatan ALT (GPT), p eningkatan γ-GT

P eningkatan ALP darah, P eningkatan bilirubin darah
Saluran cerna
Diare (4.79%)
Mual, muntah, sakit perut
Perut tidak nyaman, ulkus duodenum, hematokezia, radang perut
Hematologi
Penurunan jumlah neutrofil, p enurunan jumlah leukosit

Peningkatan jumlah sel darah putih, penurunan jumlah retikulosit, Peningkatan jumlah monosit
Gangguan Metabolisme
Peningkatan asam urat dalam darah (4.79%), peningkatan trigliserida
Adanya glukosa dalam urin
Penurunan kadar kalium dalam darah
Saluran Napas


Asma, oropharyngal pain, rhinitis, Naso-pharyngitis

Menurut pejabat Tiongkok, dilaporkan bahwa pasien yang mengonsumsi obat favipiravir di Shenzen menjadi negatif setelah 4 hari sedangkan pasien yang tidak mengonsumsi obat tersebut baru negatif setalah 11 hari. Pada penanganan pasien COVID-19 di Jepang, melalui pemeriksaan menggunakan X-Ray, pasien menunjukkan perbaikan paru sebesar 91% setelah mengonsumsi favipiravir dan pasien yang tidak menggunakan obat tersebut menunjukkan perbaikan paru sebesar 62%. Akan tetapi pihak kementerian Jepang meyatakan bahwa obat ini kurang efektif bagi pasien yang memiliki gejala berat.

KLOROKUIN FOSFAT

Vincent, dkk (2005) melaporkan bahwa klorokuin memiliki efek antiviral yang kuat terhadap virus SARS-CoV pada sel primata. Efek penghambatan ini teramati ketika sel diperlakukan dengan klorokuin baik sebelum maupun sesudah paparan virus, yang menunjukkan bahwa klorokuin memiliki efek pencegahan maupun efek terapi. Selain yang sudah diketahui bahwa klorokuin meningkatkan pH endosomal yang menghambat replikasi virus (Al Bari, 2017), obat ini nampaknya berinteraksi dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) selular. Hal ini menyebabkan penghambatan terhadap ikatan virus dengan reseptor, sehingga dapat mencegah infeksi maupun penyebaran virus SARS-CoV pada konsentrasi yang dapat menyebabkan gejala klinis.

https://www.steemleo.com/@indextrader24/erhoehen-ace-hemmer-die-sterblichkeit-bei-ards-im-rahmen-einer-ncov-infektion

Akhir-akhir ini, hydroxychloroquine (HCQ) atau chloroquine yang selama ini digunakan untuk perawatan pasien COVID-19 diberitakan mengalami masalah. Studi baru-baru ini mengungkap pasien COVID-19 yang diberi obat malaria ini berisiko mengalami aritmia atau ritme jantung tidak beraturan bahkan meninggal. Bahkan David Boulware, ahli penyakit infeksi telah mempelajari hydroxychloroquine sebagai pengobatan COVID-19 bersama University of Minnesota. Dia menegaskan bahwa obat ini mungkin tidak memiliki manfaat dan kemungkinan meningkatkan risiko kematian pada pasien corona.

Dalam pemberitaan CNN Indonesia pada hari Senin, 25 Februari 2020 menyebutkan studi yang terbit di jurnal The Lancet ini menganalisis lebih dari 96 ribu pasien COVID-19 di 671 rumah sakit di enam benua. Pasien dirawat mulai akhir Desember 2019 hingga pertengahan April 2020, pasien yang meninggal juga pasien yang dipulangkan pada 21 April 2020. Dari sekian banyak pasien, mereka yang diterapi dengan hydroxychloroquine atau chloroquine tidak sampai 15 ribu pasien. Peneliti menemukan sekitar satu dari 11 pasien dalam kelompok kontrol (tidak mendapatkan obat-obatan) meninggal di rumah sakit. Kemudian sekitar satu dari enam pasien yang diobati dengan hydroxychloroquine atau chloroquine saja meninggal. Sekitar satu dari lima yang dirawat dengan chloroquine dan antibiotik meninggal serta hampir satu dari empat yang diobati dengan hydroxychloroquine dan antibiotik meninggal. Tidak hanya kasus meninggal, peneliti juga menemukan pasien mengalami gangguan aritmia. Dari empat jenis skema terapi, masalah aritmia paling banyak timbul pada pasien yang diberi hydroxychloroquine dan antibiotik yakni sebanyak 8 persen.

Di Indonesia, pihak Puslitbang telah memutuskan untuk mengehentikan pemberian klorokuin kepada pasien karena tidak aman dan pasien yang masih dalam pengonsumsian klorokuin harus diawasi dengan memperhatikan kemungkinan efek samping yang terjadi. Obat dan vaksin yang benar-benar bisa digunakan dalam pencegahan dan penyembuhan COVID-19 ini masih belum ditemukan dan masih dalam perkembangan. Selain itu waktu pengujian yang lama juga memperlambat penemuan obat ini. Virus ini merupakan virus baru dengan penyebaran yang begitu cepat sehingga kesehatan diri masing-masing sebaiknya kita jaga dengan melakukan antisipasi penularan dan pemutusan rantai virus COVID-19. Beberapa hal yang dapat menghambat laju penularan COVID-19 yaitu :
  1. Rajin mencuci tangan menggunakan sabun dengan baik dan benar
  2. Menjaga jarak dengan orang sekitar dengan jarak 1 meter
  3. Tidak mendatangi tempat yang ramai orang
  4. Menggunakan masker dengan baik dan benar ketika berada diluar rumah, apalagi bagi penderita batuk dan pilek
  5. Mengkonsumsi gizi seperti memperbanyak makan sayur dan buah
  6. Rajin berolahraga dan istirhat yang cukup
  7. Tidak panik namun tetap waspada
  8. Selalu berpikir positif agar imunitas tubuh terjaga
  9. Menggunakan hand sanitizer ketika bepergian dan juga setelah keluar dari rumah
  10. Tidak membeli obat-obatan secara mmebabi buta
  11. Melakukan social distancing dan physical distancing
  12. Melekukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

Sumber Referensi :

  1. Al-Bari M, 2017, Targeting endosomal acidification by chloroquine analogs as a promising strategy for the treatment of emerging viral diseases, Pharma Res Per, 5(1), 2017, e00293, doi:10.1002/prp2.293
  2. Furuta, Y., et al. 2009. T-705 (favipiravir) and related compounds: Novel broad-spectrum inhibitors of RNA viral infections. J. of Antiviral Rsch., 82(3):95-102.
  3. Furuta, Y., et al. 2009. T-705 (favipiravir) and related compounds: Novel broad-spectrum inhibitors of RNA viral infections. J. of Antiviral Rsch., 82(3):95-102.
  4. https://covid19.hukumonline.com/wp-content/uploads/2020/04/keputusan_kepala_badan_pengawas_obat_dan_makanan_nomor_hk_02_02_1_2_03_20_134_tahun_2020.pdf
  5. https://farmasetika.com/2020/03/23/apoteker-harus-tahu-mekanisme-kerja-obat-avigan-dan-klorokuin-untuk-covid-19/
  6. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200524205315-255-506547/studi-ungkap-obat-malaria-untuk-corona-picu-masalah-jantung
  7. Vincent MJ, Bergeron E, Benjannet S, Erickson BR, Rollin PE, Ksiazek TG, Seidah NG, Nichol ST. , 2006, Virol J. 2005 Aug 22;2:69.
  8. World Health Organization (WHO). 2020. Table of therapeutics in WHO A coordinated Global Research Roadmap. https://www.who.int/blueprint/prioritydiseases/keyaction/Table_of_therapeutics_Appendix_17022020.pdf?ua=
  9. https://www.sehatq.com/artikel/benarkah-klorokuin-dan-pil-kina-berpotensi-atasi-corona


Tidak ada komentar: