Minggu, 01 November 2020

EKSTREMISME-KEKERASAN DAN KONSEP KESETARAAN GENDER

Ditulis oleh : Immi. Dwi Putri Ayu Wardani

Credit: pixabay.com


Dalam buku Menghalau Ekstremisme Konsep & Strategi Mengatasi Ekstremisme Kekerasan di Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Wahid Foundation konsep ektremisme dijelaskan sebagai “pilihan sadar untuk menggunakan kekerasan, atau untuk mendukung penggunaan kekerasan. Kemudian USAID, dalam buku tersebut mendefinisikan ekstremisme kekerasan sebagai peliibatan diri yang dimotivasi dan dibenarkan secara ideologis untuk meraih tujuan-tujuan sosial, ekonomi, dan politik tertentu (Mudzakir dkk, 2018).

Sementara itu, dalam buku ini pemerintah Australia pun mendefinisikan ekstremisme kekerasan sebagai “keyakinan dan tindakan orang yang mendukung atau menggunakan kekerasan untuk meraih tujuan-tujuan ideologi, agama, dan politik. Hal ini mencakup terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang bermotivasi politik dan kekerasan bersifat komunal. Melalui pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa, tindakan atau pengertian ekstremisme mencakup komponen verbal melalui dukungan dan advokasi serta tidak selalu digambarkan untuk tujuan agama karena ekstremisme dapat terjadi karena tujuan politik atau ideologi tetentu.

Dalam ekstremisme kekerasan terdapats istilah “kekerasan” yang barangkali hanya dimengerti sebagai tindakan fisik untuk melukai korban. Namun, Mudzakir dkk (2018) menjabarkan bahwa kekerasan, melampaui yang fisik, seperti kekerasan psikologis atau spiritual, di samping itu juga bersifat kontekstual. Artinya tindakan kekeran dianggap negative karena meliputi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut mencakup tujuan di balik tindakan kekerasan yang dilakukan, kejamnya tindakan, diskriminasi gender, dan agama.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa tindakan kekerasan telah diteliti melalui studi-studi yang menunjukkan bahwa sikap dan perilaku kekerasan dipelajari melalui interaksi antara keluarga dan rekan sejawat atau orang yang paling dekat dengan pelaku itu sendiri. Maka dari itu, peran perempuan dalam tatanan keluarga penting untuk menciptakan lingkungan yang damai dan tidak berisiko terhadap tindak kekerasan pada keluarga.

“Ekstremisme” telah dijabarkan sebagai “aktivitas-aktivitas (keyakinan, sikap, perasaan, tindakan, dan strategi-strategi) dari satu karakter yang melampaui batas kelumrahan. Hal ini menunjukkan perlunya patokan mengenai apa yang “lumrah” atau berlaku secara umum sebelum mengetahui apa yang ekstrem. Patokan ini tampaknya merefleksikan tipe pemerintah pada sebuah negara.

Setidaknya terdapat dua faktor penyebab seseorang mengadopsi pandangan dan paham ekstrimis, faktor tersebut adalah faktor pendorong dan penariknya. Faktor tersebut bias saja dipicu oleh sikap individualis seseorang, ditambah kebosanan terhadap hidup serba nyaman sehingga memilih untuk lari pada paham ideologis yang lain dan mengarah pada sikap ekstremis tersebut. Semua ini dapat memicu seseorang untuk mencari suasana dan petualangan baru. Faktor lain adalah ancaman identitas yang terjadi ketika etnis, kultur dan agama seseorang terancam, baik real maupun persepsi. Pada level personal, terdapat ancaman yang berupa pemisahan dan hinaan yang mendorong pada kebencian dan kemarahan. Marjinalisasi di masyarakat terjadi ketika seseorang tidak diakui sebagai anggota kelompok masyarakat, termasuk diskriminasi, segregasi dan perisakan hal ini dialami pada masyarakat yang mengalami polarisasi baik gender, ras, agama, atau kelas tertentu.

Maka dari itu perempuan dan anak dianggap kelompok rentan karena kerap dipinggirkan dalam tatanan keluarga ataupun komunitasnya, biasanya anak-anak yang mengadopsi ideologi keagamaan ekstremis adalah pemuda antara usia 15 sampai 25 tahun. Pada usia perkembangan ini, mereka mencari ruang mengungkap jati diri, mencari pendukung kepercayaan diri dan makna hidup. Untuk mencegah hal tersebut diperlukan peran keluarga yang sehat dan adil gender.

Keluarga merupakan kelompok sosial utama dan terkecil yang menjadi tempat pertama dalam perkembangan lini kehidupan sosial. Keluarga menjadi suatu wadah bagi anggota keluarga untuk belajar menjadi manusia sosial dan memperoleh bekal yang memungkinkan untuk menjadi anggota masyarakat. Maka dari itu, apabila hubungan dalam keluarga kurang baik, besar kemungkinan interaksi sosial pun tidak berlangsung secara baik, sehingga besar kemungkinan terjadinya konflik sosial dalam lingkup yang lebih besar.

Konflik keluarga banyak bersumber dari kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender. Perempuan sebagai subjek rentan dalam hubungan suami-istri kerap mengalami hambatan saat memulai kehidupan rumah tangga. Kungkungan peran domestik serta tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi menjadi pemicu utama konflik rumah tangga, ditambah lagi jika peran sebagai seorang ibu dimulai dapat memposisikan perempuan dalam kewajiban menjalani peran ganda. Maka disinilah konflik akan terus berulang dan anak menjadi korban dari ketidakharmonisan orang tua.

Keluarga merupakan tatanan yang teramat esensial dalam masa depan dan jalan hidup seorang anak. Kehidupan di keluarga merupakan tempat di mana anak belajar secara awal tentang berbagai hal termasuk cara mewujudkan kesetaraan gender. Kesetaraan gender menjadi penting untuk ditekankan pada anak sedini mungkin, agar dalam kehidupan bermasyarakat anak tumbuh menjadi individu yang mampu berlaku adil dan saling menghargai tanpa memandang gender.

Dalam buku mubaadalah, Faqihuddin Abdul Qadir mengenalkan suatu konsep kesalingan dalam berelasi, merupakan suatu konsep mengusung tema kesetaraan gender yang menekankan pada kemitraan dan kerja sama dari dua orang yang berelasi untuk sama-sama berkontribusi sesuai dengan kemampuan masing-masing sehingga keduanya dapat mengambil manfaat dari kerja sama tersebut. Prinsip kesalingan menjadi pondasi dari konsep mubadalah yang sejalan dengan fitrah bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri melainkan berdampingan dengan manusia lainnya.  

Jika hubungan dalam keluarga telah tertanam pemahaman kesetaraan maka budaya kesalingan dalam segala hal akan tumbuh, dan ini sangat penting untuk menghindari terjadinya ekstremisme-kekerasan dalam keluarga. Ketika dalam keluarga telah tumbuh budaya saling menghargai maka keinginan untuk melakukan kekerasan tidak akan sebesar keinginan untuk melindungi keluarga. Dalam buku Mudzakir dkk (2018) disebutkan beberapa kasus menunjukkan bahwa di antara orang yang menolak terlibat dalam ekstremisme kekerasan adalah pentingnya kewajiban menafkahi keluarga. Perhatian mereka terletak pada kekhawatiran akan nasib keluarga jika mereka melakukan kekerasan dan persepsi dari anggota keluarga atas tindakan mereka.

Berbagai kasus ekstremisme-kekerasan berawal dari ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam menjalankan peran berkeluarga. Melalui pemantauan indikator-indikator radikalisasi, keluarga dapat mencegah anak-anak muda direkrut ekstremis garis keras. Pada buku yang ditulis Mudzakir dkk (2018) dicatut salah satu contoh Jaringan Ibu Kehidupan (The Mother of Life) yang merupakan salah satu inisiatif program di Jerman. Program ini melibatkan perempuan khususnya ibu-ibu dalam menangkal paparan radikalisme bagi anak-anak mereka. Peran ibu-ibu ini penting dalam mengidentifikasi indikator-indikator awal radikalisasi dan kontribusinya pada pencegahan anak muda terlibat dalam ekstremisme kekerasan. Pentingnya peran keluarga dalam menciptakan iklim damai di lingkungannya menjadi salah satu indikator bagaimana kesetaraan gender diperlukan.


Tidak ada komentar: