Ditulis oleh : Immi. Dwi Putri Ayu Wardani
 |
| Credit: pixabay.com |
Dalam
buku Menghalau Ekstremisme Konsep & Strategi Mengatasi Ekstremisme
Kekerasan di Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Wahid Foundation
konsep ektremisme dijelaskan sebagai “pilihan sadar untuk menggunakan
kekerasan, atau untuk mendukung penggunaan kekerasan. Kemudian USAID, dalam
buku tersebut mendefinisikan ekstremisme kekerasan sebagai peliibatan diri yang
dimotivasi dan dibenarkan secara ideologis untuk meraih tujuan-tujuan sosial,
ekonomi, dan politik tertentu (Mudzakir dkk, 2018).
Sementara
itu, dalam buku ini pemerintah Australia pun mendefinisikan ekstremisme
kekerasan sebagai “keyakinan dan tindakan orang yang mendukung atau menggunakan
kekerasan untuk meraih tujuan-tujuan ideologi, agama, dan politik. Hal ini
mencakup terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang bermotivasi politik
dan kekerasan bersifat komunal. Melalui pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa, tindakan atau pengertian ekstremisme mencakup komponen verbal melalui
dukungan dan advokasi serta tidak selalu digambarkan untuk tujuan agama karena
ekstremisme dapat terjadi karena tujuan politik atau ideologi tetentu.
Dalam
ekstremisme kekerasan terdapats istilah “kekerasan” yang barangkali hanya
dimengerti sebagai tindakan fisik untuk melukai korban. Namun, Mudzakir dkk
(2018) menjabarkan bahwa kekerasan, melampaui yang fisik, seperti kekerasan
psikologis atau spiritual, di samping itu juga bersifat kontekstual. Artinya
tindakan kekeran dianggap negative karena meliputi beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut mencakup tujuan di balik tindakan kekerasan yang
dilakukan, kejamnya tindakan, diskriminasi gender, dan agama.
Dalam
buku ini dijelaskan bahwa tindakan kekerasan telah diteliti melalui studi-studi
yang menunjukkan bahwa sikap dan perilaku kekerasan dipelajari melalui
interaksi antara keluarga dan rekan sejawat atau orang yang paling dekat dengan
pelaku itu sendiri. Maka dari itu, peran perempuan dalam tatanan keluarga
penting untuk menciptakan lingkungan yang damai dan tidak berisiko terhadap
tindak kekerasan pada keluarga.
“Ekstremisme”
telah dijabarkan sebagai “aktivitas-aktivitas (keyakinan, sikap, perasaan,
tindakan, dan strategi-strategi) dari satu karakter yang melampaui batas
kelumrahan. Hal ini menunjukkan perlunya patokan mengenai apa yang “lumrah”
atau berlaku secara umum sebelum mengetahui apa yang ekstrem. Patokan ini
tampaknya merefleksikan tipe pemerintah pada sebuah negara.
Setidaknya
terdapat dua faktor penyebab seseorang mengadopsi pandangan dan paham
ekstrimis, faktor tersebut adalah faktor pendorong dan penariknya. Faktor
tersebut bias saja dipicu oleh sikap individualis seseorang, ditambah kebosanan
terhadap hidup serba nyaman sehingga memilih untuk lari pada paham ideologis
yang lain dan mengarah pada sikap ekstremis tersebut. Semua ini dapat memicu
seseorang untuk mencari suasana dan petualangan baru. Faktor lain adalah
ancaman identitas yang terjadi ketika etnis, kultur dan agama seseorang
terancam, baik real maupun persepsi. Pada level personal, terdapat ancaman yang
berupa pemisahan dan hinaan yang mendorong pada kebencian dan kemarahan.
Marjinalisasi di masyarakat terjadi ketika seseorang tidak diakui sebagai
anggota kelompok masyarakat, termasuk diskriminasi, segregasi dan perisakan hal
ini dialami pada masyarakat yang mengalami polarisasi baik gender, ras, agama,
atau kelas tertentu.
Maka
dari itu perempuan dan anak dianggap kelompok rentan karena kerap dipinggirkan
dalam tatanan keluarga ataupun komunitasnya, biasanya anak-anak yang mengadopsi
ideologi keagamaan ekstremis adalah pemuda antara usia 15 sampai 25 tahun. Pada
usia perkembangan ini, mereka mencari ruang mengungkap jati diri, mencari
pendukung kepercayaan diri dan makna hidup. Untuk mencegah hal tersebut
diperlukan peran keluarga yang sehat dan adil gender.
Keluarga
merupakan kelompok sosial utama dan terkecil yang menjadi tempat pertama dalam
perkembangan lini kehidupan sosial. Keluarga menjadi suatu wadah bagi anggota
keluarga untuk belajar menjadi manusia sosial dan memperoleh bekal yang
memungkinkan untuk menjadi anggota masyarakat. Maka dari itu, apabila hubungan
dalam keluarga kurang baik, besar kemungkinan interaksi sosial pun tidak
berlangsung secara baik, sehingga besar kemungkinan terjadinya konflik sosial
dalam lingkup yang lebih besar.
Konflik
keluarga banyak bersumber dari kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender.
Perempuan sebagai subjek rentan dalam hubungan suami-istri kerap mengalami
hambatan saat memulai kehidupan rumah tangga. Kungkungan peran domestik serta
tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi menjadi pemicu utama konflik rumah tangga,
ditambah lagi jika peran sebagai seorang ibu dimulai dapat memposisikan
perempuan dalam kewajiban menjalani peran ganda. Maka disinilah konflik akan
terus berulang dan anak menjadi korban dari ketidakharmonisan orang tua.
Keluarga
merupakan tatanan yang teramat esensial dalam masa depan dan jalan hidup
seorang anak. Kehidupan di keluarga merupakan tempat di mana anak belajar
secara awal tentang berbagai hal termasuk cara mewujudkan kesetaraan gender.
Kesetaraan gender menjadi penting untuk ditekankan pada anak sedini mungkin,
agar dalam kehidupan bermasyarakat anak tumbuh menjadi individu yang mampu
berlaku adil dan saling menghargai tanpa memandang gender.
Dalam
buku mubaadalah, Faqihuddin Abdul Qadir mengenalkan suatu konsep kesalingan
dalam berelasi, merupakan suatu konsep mengusung tema kesetaraan gender yang
menekankan pada kemitraan dan kerja sama dari dua orang yang berelasi untuk
sama-sama berkontribusi sesuai dengan kemampuan masing-masing sehingga keduanya
dapat mengambil manfaat dari kerja sama tersebut. Prinsip kesalingan menjadi
pondasi dari konsep mubadalah yang sejalan dengan fitrah bahwa manusia tidak
bisa hidup sendiri melainkan berdampingan dengan manusia lainnya.
Jika
hubungan dalam keluarga telah tertanam pemahaman kesetaraan maka budaya
kesalingan dalam segala hal akan tumbuh, dan ini sangat penting untuk
menghindari terjadinya ekstremisme-kekerasan dalam keluarga. Ketika dalam
keluarga telah tumbuh budaya saling menghargai maka keinginan untuk melakukan
kekerasan tidak akan sebesar keinginan untuk melindungi keluarga. Dalam buku
Mudzakir dkk (2018) disebutkan beberapa kasus menunjukkan bahwa di antara orang
yang menolak terlibat dalam ekstremisme kekerasan adalah pentingnya kewajiban
menafkahi keluarga. Perhatian mereka terletak pada kekhawatiran akan nasib
keluarga jika mereka melakukan kekerasan dan persepsi dari anggota keluarga
atas tindakan mereka.
Berbagai
kasus ekstremisme-kekerasan berawal dari ketidakadilan dan ketidakseimbangan
dalam menjalankan peran berkeluarga. Melalui pemantauan indikator-indikator
radikalisasi, keluarga dapat mencegah anak-anak muda direkrut ekstremis garis
keras. Pada buku yang ditulis Mudzakir dkk (2018) dicatut salah satu contoh
Jaringan Ibu Kehidupan (The Mother of Life) yang merupakan salah satu inisiatif
program di Jerman. Program ini melibatkan perempuan khususnya ibu-ibu dalam
menangkal paparan radikalisme bagi anak-anak mereka. Peran ibu-ibu ini penting
dalam mengidentifikasi indikator-indikator awal radikalisasi dan kontribusinya
pada pencegahan anak muda terlibat dalam ekstremisme kekerasan. Pentingnya
peran keluarga dalam menciptakan iklim damai di lingkungannya menjadi salah
satu indikator bagaimana kesetaraan gender diperlukan.